Rabu, 16 Mei 2012

Menakar Peluang Tim Thomas Indonesia



K

urang dalam hitungan hari, perhelatan Thomas Uber Cup 2012 akan digelar di Wuhan, Cina. Dilihat dari sejarah, tahun ini merupakan tepat 10 (sepuluh) tahun sejak kita merebut Thomas terakhir. Tim bulutangkis sering bertemu dengan kedigdayaan 10 tahunan tersebut –sebut saja siklus 10 tahunan. Fakta itu bisa dilihat dari tahun-tahun hilang dan menang piala Thomas dari bumi pertiwi. Tahun 1984 dalam final Piala Thomas, Indonesia mengalahkan Cina 3-2 . Setelah itu selama 10 tahun Thomas hinggap di Cina dan Malaysia. Baru tahun 1994 (10 tahun sejak 1984) Thomas kembali ke pangkuan ibu pertiwi setelah Heryanto Arbi dan kawan-kawan mengalahkan Malaysia 3-0 di Jakarta. Tahun 1994-2002 Indonesia selalu memenangkan partai final piala Thomas –bahkan tahun 1994 dan 1996 piala Ubernya juga- namun berakhir tahun 2004 ketika Jakarta menjadi tuan rumah. Dengan demikian ketika Thomas terakhir bisa kita dapatkan tahun 2002 maka 10 tahun kemudian –alias tahun 2012 ini- semestinya Thomas bisa kita raih kembali.

Siklus ini berlaku juga di sektor tunggal putra –kasus untuk kejuaraan dunia bulutangkis. Ketika Icuk Sugiharto mengalahkan Liem Swie King di final Kejuaraan Dunia tahun 1983 di Kopenhagen, baru 10 (sepuluh) tahun kemudian Joko Suprianto mengalahkan Hermawan Susanto di final tahun 1993.

Saat ini pemain Indonesia memiliki peringkat yang cenderung merata. Dengan pemain tunggal yang rata-rata di 20 besar dunia (dua diantaranya sepuluh besar), demikian pula ganda putranya, maka tahun 2012 komposisi pemain Thomas Indonesia merupakan yang terbaik setidaknya selama 10 tahun ini. Simon Santoso adalah pemain yunior –bahkan sangat pemula- ketika memperkuat Thomas tahun 2004, dan sekarang menjadi pemain peringkat pertama Indonesia. Taufik Hidayat sebagai pemain veteran diharapkan bermain lebih all out ketika beregu dibandingkan saat dia bermain di perseorangan. Sedangkan Tommy Sugiarto dan Hayom Rumbaka diprediksi akan semakin dewasa karena setidaknya telah memiliki pengalaman beregu saat memperkuat Indonesia di Sea Games 2011 dan Axiata Cup yang baru lalu. Dengan hanya menyertakan 4 (empat) pemain tunggal putra maka PBSI musti jeli dalam memilih variasi tunggal mana yang diturunkan.

Sebenarnya komposisi tunggal putra tersebut bisa saja menyertakan 5(lima) orang, dengan –semestinya- mengiikutsertakan pula Sony Dwi Kuncoro yang akan lebih menambah variasi. Mungkin alasan tidak terpakainya Sony adalah lebih sering cederanya pemain tersebut. Walaupun sebenarnya terbukti dia hanya kalah dengan pemain peringkat tinggi, itupun dengan rubber set (terakhir bulan lalu saat Malaysia Grand Prix Gold, Sony kalah di final melawan Lee Chong Wei dengan rubber). Alasan lain memakai hanya 4 (empat) tunggal adalah memberi peluang untuk 6 (enam) pemain ganda. Sehingga andaikan Sony diikutsertakan kembali, maka 1 (satu) orang ganda musti dikurangi, jadi totalnya tetap 10 pemain.

Sedangkan di sektor ganda, dapat dikatakan Indonesia menjadi negara yang paling variatif dalam mengocok komposisi gandanya. Diperkuat oleh ganda peraih emas Olimpiade dan Asian Games yaitu Markis Kido/ Hendra Setiawan, walaupun peringkatnya masih di bawah Muhammad Ahsan/ Bona, diharapkan 2 (dua) poin mampu disumbangkan dari sektor ini. Sayangnya memang PBSI tidak memasang pasangan muda Rian Agung/ Angga Pratama, padahal mereka mampu mengalahkan ganda besar dunia semacam Koo Kien Kat/ Tan Boon Heong (Malaysia) dan Chai Biao/ Guo Zhendong (Cina). PBSI malah lebih memilih Alvent untuk dipasangkan dengan Rian, dengan kemungkinan kombinasi lain adalah Alvent/ Ahsan.

Semenjak dulu PBSI lebih memilih komposisi memperbanyak pemain ganda dibanding tunggal dalam keikutsertaan putaran Thomas. Seperti Thomas 2012 nanti dengan komposisi 4 tunggal dan 6 pemain ganda. Walaupun hampir semua Negara memakai komposisi semacam itu, tetapi kontingen Cina pernah memakai komposisi yang berbeda dengan menyeimbangkan tunggal dan ganda. Logika kontingen Cina cukup sederhana, karena tunggal memainkan partai lebih banyak dibandingkan ganda. Dalam total 5 (lima) partai Thomas, cukup dengan 3 (tiga) kemenangan maka akan memastikan langkah ke tahap berikutnya. Perbedaan perspektif pengambilan poin antara tim yang mengutamakan tunggal atau ganda memang cukup signifikan. Cina cenderung untuk mengambil semua partai tunggal, apabila ada yang lepas maka ganda sebagai cadangannya. Sementara tim Indonesia cenderung untuk mengambil semua partai ganda ditambah 1 (satu) tunggal.

Dengan melihat kemerataan/ ketidakmerataan pemain Thomas negara lain –terutama dari sisi peringkat- maka kemungkinan besar partai final akan mempertemukan Cina lawan Indonesia. Dibandingkan unggulan yang lain, China dan Indonesia jauh lebih merata. Korea, Denmark, dan Malaysia hanya berharap dari tunggal pertama dan ganda pertama. Kuda hitam dalam turnamen ini adalah Jepang. Mereka sedikit lebih merata karena pemain Jepang telah berpengalaman diadu dalam beregu sejak Thomas 2010 dan Sudirman 2011. Pelatih Jepang –sang legenda ganda dari Korsel itu- Park Joo Bong telah membentuk Kenichi Tago dan Sho Shasaki serta pasangan gandanya menjadi semakin matang. Bahkan pada Thomas 2010 mereka dapat mengalahkan tuan rumah Malaysia setelah ketinggalan 0-2 terlebih dahulu. Jepang pasti akan memberikan perlawanan alot pada setiap lawan yang dihadapinya.

Seandainya betul Cina dan Indonesia bertemu di final, maka dalam turnamen Thomas nanti Cina versus Indonesia akan memainkan pertandingan sebanyak 2 (dua) kali. Hal tersebut dikarenakan Cina dan Indonesia sama-sama dalam 1 (satu) grup penyisihan. Mengingat peringkat pemain Cina jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia –kelima pemain tunggal dan pasangan gandanya lolos olimpiade - maka terdapat beberapa kemungkinan pilhan bagi Indonesia. Kemungkinan pertama adalah Indonesia menampilkan komposisi terbaik saat pertemuan penyisihan grup, yaitu Simon, Ahsan/ Bona, Taufik, Kido/ Hendra, dan Tommy. Dengan harapan Indonesia mampu mengalahkan Cina dan menjadi juara grup. Kemungkinan kedua adalah komposisi yang diacak, misalnya dengan menyimpan Taufik, kemudian memasang Alvent/ Ahsan atau Alvent/ Rian. Komposisi acak tersebut dengan harapan siapa tahu menang, atau baru memasang winning team saat final nanti.

Dalam bulutangkis sangat mungkin kemenangan pemain atas pemain lainnya ditentukan melalui kecocokan, untuk itu beberapa keunikan partai pemain musti dijaga. Seperti Markis Kido/ Hendra lebih sering menang melawan Chai/ Fu ketika bermain di daerah Cina (seperti saat final Olimpiade 2008). Atau Simon Santoso yang lebih fight ketika menghadapi Lin Dan, dibanding Taufik Hidayat. Atau Tommy yang rekor beregunya lebih baik dibandingkan Hayom. Demikian pula pasangan muda Ahsan/ Bona yang kurang bagus selama ini dalam beregu (pengalaman saat Sea Games dan Axiata kemarin). Kecerdikan dan kejelian official sangat berperan penting dalam hal ini, dalam memilih kombinasi pemain yang relevan untuk meraih kemenangan.

Genderang perang telah bertabuh, kita hanya berharap siklus 10 tahunan bulutangkis Indonesia akan bergulir kembali. Tahun 2002 terakhir mendapat piala Thomas, dan saatnya sekarang -10 tahun sejak 2002- Thomas kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tahun 2002 di Cina (Guangzhao) dan sekarang di Cina (Wuhan). Semoga sejarah berulang.